Makna
Perempuan bagi Keluarga
Oleh
: Fajar setyani
087836107641
Seiring berjalannya
waktu, saat perempuan-perempuan mulai merasakan bahwa dirinya telah
diperlakukan berbeda dengan seorang laki-laki maka timbulah gerakan-gerakan
yang timbul akibat perasaan tertekannya seorang perempuan. Kartini, pelopor
pembemberontakan kaum perempuan telah menunjukan kepada semua orang bahwa
perempuan bisa melakukan lebih dari pada seorang laki-laki. Dalam majalah TEMPO
edisi 22-28 April 2013 dipaparkan bahwa “Kartini memberontak terhadap feodalisme,
poligami, dan adat istiadat yang mengungkung perempuan. Dia yakin bahwa
pemberian pendidikan yang merata merupakan kunci kemajuan”. Kartini menyadari bahwa
adat istiadat para perempuan Jawa yang mengalami proses pingitan akan
menyebabkan seorang perempuan menjadi terhalang untuk memperoleh pendidikan.
Tetapi Kartini saat dipingit tidak berhenti untuk mencari cara agar ilmu selalu
mengalir meskipun berada pada pingitan. Tetapi perasaan perempuan tetaplah
sama, di saat Kartini dihadapkan dalam suatu pilihan antara mengenyam
pendidikan atau menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan ayahnya. Dia
harus memilih untuk menikah untuk
membahagiakan ayahnya.
Perempuan-perempuan
semakin memberontak , Gerwani ( Gerakan
Wanita Indonesia ) adalah salah satu contoh dari pemberontakan pada masa
soeharto yang dilakukan para perempuan. Aktivis Gerakan ini adalah pembela perempuan-perempuan.
Gerakan ini bersifat tegas. Gerakan ini dituding terlibat dalam gerakan PKI.
Sehingga banyak aktivis dari gerakan ini yang dipenjarakan.
Seorang perempuan
seharusnya bisa menempatkan dirinya dalam situasi apapun dan dalam hal apapun
sehingga peran perempuan akan bermakna. Kartini memaknai perempuan sebagai
suatu yang harus diperjuangan, karena sebagai perempuan kartini tidak rela jika
kaumnya terus terjajah oleh feodalisme yang mengukung perempuan-perempuan Jawa.
Harapan kartini adalah terciptanya perempuan-perempuan yang berpendidikan dan
bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan perempuan seperti laki-laki. Agar
bisa mendidik anak-anak mereka menjadi seorang anak yang bisa berguna bagi
bangsanya.
Tetapi, emansipasi yang
dicetuskan kartini nampaknya banyak disalah artikan oleh perempuan-perempuan
sekarang. Mereka beranggapan bahwa emansipasi membebaskan apapun yang ada dalam
diri perempuan. Termasuk adab-adab yang sesuai fitrahnya sekarang telah banyak
dilanggar oleh para perempuan.Konsumerisme telah melanda kehidupan para perempuan
masa ini, mereka cenderung lebih mementingkan penampilan lahiriah dari pada
harus melalukan hal yang sesuai fitrah
perempuan. Pakaian dan make up sekarang cenderung melekat dalam diri seorang
perempuan, bahkan para ibu rumah tangga sekarang lebih mementingkan bagaimana
wajahnya bisa terlihat cantik, bagaimana pakaiannya bisa pas dengan tubuhnya.
Keluarga menjadi bagian yang kedua sejelah penampilannya.
Jika dibandingkan peran
ibu pada masa dahulu dan masa sekarang, maka terdapat banyak perbedaan dalam perannya
sebagai pengatur rumah tangga. Dahulu meskipun seorang perempuan tekekang oleh
adat. Tetapi mereka banyak yang berhasil mendidik anak-anak mereka menjadi
seorang yang berhasil. Sedangkan ibu modern yang berpendidikan malah menjadikan
keluarga adalah prioritas yang kedua. Seandainya seorang ibu bisa menyeimbangkan
kepentingan pribadinya dengan kepentingan keluarga maka kehidupan yang harmonis
mungkin akan tercipta.
Terlihat pada buku
terbitan tahun 1950 itu dimana saat itu perempuan masih dianggap menjadi
seseorang yang tidak bermakna. Walaupun presiden pertama Indonesia Soekarno pernah mengatakan bahwa “ kebesaran
suatu Negara berada ditangan seorang ibu, jika ibu-ibu dalam suatu negara
tersebut baik maka negaranya akan baik pula, sebaliknya jika ibu-ibu yang ada
pada suatu Negara itu rusak maka Negara tersebut akan rusak” ini menggambarkan
bahwa pada masa sukarno sebenarnya peran seorang perempuan telah banyak
berubah. Tetapi banyak yang belum menyadari pentingnya seorang perempuan dalam
membangun sebuah kehidupan yang harmonis.
Dari buku pelajaran
“Titian” karya R.M.DJAMAIN, yang diterbitkan pada 1950. Tahun dimana peran
seorang wanita sudah diakui dan dihormati wanita yang sebelumnya hanya berada
dalam dapur mulai beralih pada perannya terhadap pendidikan kepada anak-anaknya
dan memiliki tanggung jawab lebih kepada keluarganya.
Dari buku itu kita
mendapatkan cerita sederhana ini: Bau harum selalu tercium setiap kali masuk ke
rumah, itu berasal dari dapur yang berada di belakang rumah. Ibu sedang memasak.
Setelah masakan jadi bapak dan anak akan bergabung menyantap masakan buatan
ibu. Itulah ritme yang sering terjadi dalam sebuah keluarga. Dalam salah satu
ceritanya ibu digambarkan seorang yang berkutat dengan dapur saat anaknya minta tolong karena ada genting
yang bocor, maka ibu mengambil sebuah pasu
(salah satu alat dapur) untuk menyelesaikan masalah tersebut, jadi begitu
dekatnya sosok ibu dengan sebuah dapur. Peran ibu tidaklah terlalu besar bagi
keluarganya karena ibu hanya berada pada satu tempat saja dan jarang memperoleh
pengalaman-pengalaman yang bisa diajarkan kepada anak-anaknya.
Ibu selalu diposisikan
menjadi seorang pahlawan bagi keluarga mereka yang kelaparan. Ibu selalu
berhubungan dengan dapur dan peralatan memasak, ibu adalah penguasa daerah
dapur. Bahkan dalam zaman feodal seorang istri selalu disebut dengan istilah
“kanca wingking” atau dengan kata lain seorang istri pekerjaannya hanyalah
dibelakang atau didapur saja. Perempuan tidak memiliki hak untuk menemui
seorang tamu dan bepergian keluar rumah kecuali jika sangat diperlukan. Istri
tidak diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang berada diluar rumah.
Ibu pada buku tersebut
masih digambarkan dengan menggunakan pakaian kebaya zaman dahulu yang selalu
dikenakan oleh perempuan-perempuan zaman dahulu. Padahal seharusnya perempuan
pada tahun tersebut sudah harus digambarkan lebih tidak terlalu formal. Disana
juga terdapat percakapan ibu yang ditujukan kepada anaknya Amir yaitu “ Ala !
,,dibelakang tiris tentu kena kelapa jang djatuh tadi. atap tentu bocor.
Biarlah esok sadja diperiksa ayah”.
Dapat disimpulkan bahwa
peran seorang ibu disini belum secara utuh menolong anaknya yang sedang
mempunyai masalah. Disini ayah yang tetap berperan dalam menyelesaikan masalah
keluarganya. Ibu hanya membantu untuk sementara waktu.