Kamis, 05 November 2015

second article

Makna Perempuan bagi Keluarga
Oleh : Fajar setyani
087836107641
Seiring berjalannya waktu, saat perempuan-perempuan mulai merasakan bahwa dirinya telah diperlakukan berbeda dengan seorang laki-laki maka timbulah gerakan-gerakan yang timbul akibat perasaan tertekannya seorang perempuan. Kartini, pelopor pembemberontakan kaum perempuan telah menunjukan kepada semua orang bahwa perempuan bisa melakukan lebih dari pada seorang laki-laki. Dalam majalah TEMPO edisi 22-28 April 2013 dipaparkan bahwa  “Kartini memberontak terhadap feodalisme, poligami, dan adat istiadat yang mengungkung perempuan. Dia yakin bahwa pemberian pendidikan yang merata merupakan kunci kemajuan”. Kartini menyadari bahwa adat istiadat para perempuan Jawa yang mengalami proses pingitan akan menyebabkan seorang perempuan menjadi terhalang untuk memperoleh pendidikan. Tetapi Kartini saat dipingit tidak berhenti untuk mencari cara agar ilmu selalu mengalir meskipun berada pada pingitan. Tetapi perasaan perempuan tetaplah sama, di saat Kartini dihadapkan dalam suatu pilihan antara mengenyam pendidikan atau menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan ayahnya. Dia harus memilih untuk  menikah untuk membahagiakan ayahnya.
Perempuan-perempuan semakin memberontak , Gerwani  ( Gerakan Wanita Indonesia ) adalah salah satu contoh dari pemberontakan pada masa soeharto yang dilakukan para perempuan. Aktivis Gerakan ini adalah pembela perempuan-perempuan. Gerakan ini bersifat tegas. Gerakan ini dituding terlibat dalam gerakan PKI. Sehingga banyak aktivis dari gerakan ini yang dipenjarakan.
Seorang perempuan seharusnya bisa menempatkan dirinya dalam situasi apapun dan dalam hal apapun sehingga peran perempuan akan bermakna. Kartini memaknai perempuan sebagai suatu yang harus diperjuangan, karena sebagai perempuan kartini tidak rela jika kaumnya terus terjajah oleh feodalisme yang mengukung perempuan-perempuan Jawa. Harapan kartini adalah terciptanya perempuan-perempuan yang berpendidikan dan bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan perempuan seperti laki-laki. Agar bisa mendidik anak-anak mereka menjadi seorang anak yang bisa berguna bagi bangsanya.
Tetapi, emansipasi yang dicetuskan kartini nampaknya banyak disalah artikan oleh perempuan-perempuan sekarang. Mereka beranggapan bahwa emansipasi membebaskan apapun yang ada dalam diri perempuan. Termasuk adab-adab yang sesuai fitrahnya sekarang telah banyak dilanggar oleh para perempuan.Konsumerisme telah melanda kehidupan para perempuan masa ini, mereka cenderung lebih mementingkan penampilan lahiriah dari pada harus melalukan  hal yang sesuai fitrah perempuan. Pakaian dan make up sekarang cenderung melekat dalam diri seorang perempuan, bahkan para ibu rumah tangga sekarang lebih mementingkan bagaimana wajahnya bisa terlihat cantik, bagaimana pakaiannya bisa pas dengan tubuhnya. Keluarga menjadi bagian yang kedua sejelah penampilannya.
Jika dibandingkan peran ibu pada masa dahulu dan masa sekarang, maka terdapat banyak perbedaan dalam perannya sebagai pengatur rumah tangga. Dahulu meskipun seorang perempuan tekekang oleh adat. Tetapi mereka banyak yang berhasil mendidik anak-anak mereka menjadi seorang yang berhasil. Sedangkan ibu modern yang berpendidikan malah menjadikan keluarga adalah prioritas yang kedua. Seandainya seorang ibu bisa menyeimbangkan kepentingan pribadinya dengan kepentingan keluarga maka kehidupan yang harmonis mungkin akan tercipta.
Terlihat pada buku terbitan tahun 1950 itu dimana saat itu perempuan masih dianggap menjadi seseorang yang tidak bermakna. Walaupun presiden pertama Indonesia  Soekarno pernah mengatakan bahwa “ kebesaran suatu Negara berada ditangan seorang ibu, jika ibu-ibu dalam suatu negara tersebut baik maka negaranya akan baik pula, sebaliknya jika ibu-ibu yang ada pada suatu Negara itu rusak maka Negara tersebut akan rusak” ini menggambarkan bahwa pada masa sukarno sebenarnya peran seorang perempuan telah banyak berubah. Tetapi banyak yang belum menyadari pentingnya seorang perempuan dalam membangun sebuah kehidupan yang harmonis.
Dari buku pelajaran “Titian” karya R.M.DJAMAIN, yang diterbitkan pada 1950. Tahun dimana peran seorang wanita sudah diakui dan dihormati wanita yang sebelumnya hanya berada dalam dapur mulai beralih pada perannya terhadap pendidikan kepada anak-anaknya dan memiliki tanggung jawab lebih kepada keluarganya.
Dari buku itu kita mendapatkan cerita sederhana ini: Bau harum selalu tercium setiap kali masuk ke rumah, itu berasal dari dapur yang berada di belakang rumah. Ibu sedang memasak. Setelah masakan jadi bapak dan anak akan bergabung menyantap masakan buatan ibu. Itulah ritme yang sering terjadi dalam sebuah keluarga. Dalam salah satu ceritanya ibu digambarkan seorang yang berkutat dengan dapur  saat anaknya minta tolong karena ada genting yang bocor, maka ibu mengambil sebuah pasu (salah satu alat dapur) untuk menyelesaikan masalah tersebut, jadi begitu dekatnya sosok ibu dengan sebuah dapur. Peran ibu tidaklah terlalu besar bagi keluarganya karena ibu hanya berada pada satu tempat saja dan jarang memperoleh pengalaman-pengalaman yang bisa diajarkan kepada anak-anaknya. 

Ibu selalu diposisikan menjadi seorang pahlawan bagi keluarga mereka yang kelaparan. Ibu selalu berhubungan dengan dapur dan peralatan memasak, ibu adalah penguasa daerah dapur. Bahkan dalam zaman feodal seorang istri selalu disebut dengan istilah “kanca wingking” atau dengan kata lain seorang istri pekerjaannya hanyalah dibelakang atau didapur saja. Perempuan tidak memiliki hak untuk menemui seorang tamu dan bepergian keluar rumah kecuali jika sangat diperlukan. Istri tidak diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang berada diluar rumah.
Ibu pada buku tersebut masih digambarkan dengan menggunakan pakaian kebaya zaman dahulu yang selalu dikenakan oleh perempuan-perempuan zaman dahulu. Padahal seharusnya perempuan pada tahun tersebut sudah harus digambarkan lebih tidak terlalu formal. Disana juga terdapat percakapan ibu yang ditujukan kepada anaknya Amir yaitu “ Ala ! ,,dibelakang tiris tentu kena kelapa jang djatuh tadi. atap tentu bocor. Biarlah esok sadja diperiksa ayah”.

Dapat disimpulkan bahwa peran seorang ibu disini belum secara utuh menolong anaknya yang sedang mempunyai masalah. Disini ayah yang tetap berperan dalam menyelesaikan masalah keluarganya. Ibu hanya membantu untuk sementara waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar